Jam tepat menunjukan pukul 20:30 WITA
ketika kami mendorong perahu dengan kapasitas 2 GT dari pantai didesa
Watobuku (Lamakera). Bermodalkan alat tangkap pancing, penampung umpan
dan lampu gas dari minyak tanah Pa Ahmad Muang beserta anaknya mencari
umpan hidup untuk menangkap tuna.
Setelah 20 menit perjalanan Pa Ahmad
mulai menyalakan lampu gasnya, semakin terang semakin baik untuk menarik
ikan supaya mendekati kapal dan memudahkan pa Ahmad memancingnya. Satu
persatu ikan Tembang minyak (Temi) didapatkannya dengan pancing ulur,
secepat mungkin hasil tangkapannya dimasukan ke keranjang penampung
umpan untuk menjaga temi tetap hidup.
Umpan hidup mulai memenuhi keranjang
penampung, kami pun istirahat menunggu hingga pukul 2:00 Dini hari,
setelah itu kami pun bergegas ke lokasi penangkapan tuna di wilayah
perairan Selat Solor. 20 menit sesampainya dilokasi, sudah ada 4 perahu
nelayan lain yang memulai memancing dilokasi tersebut.
Menggunakan
pancing ulur dengan ukuran senar ukuran D1500 dan mata kail berukuran
no. 4 yang dililitkan di atas dirigen 5ltr Pa Ahmad menggunakan temi
yang didapatkanya sebagai umpan, 2 set pancing diemparkan ke laut.
Nelayan sering menyebutnya umpan hanyut, tanpa mengurangi peluang
mendapatkan ikan Pa Ahmad pun tetap memegang sendiri pancing ulurnya.
Tidak sampai 30 menit umpan disambar oleh tuna. Namun sangat disayangkan
ketika diangkat hasil tangkapannya merupakan baby tuna, hal ini pun
berlangsung 2 kali, dengan masing-masing tuna jenis sirip kuning seberat
15kg. Pa Ahmad sangat berat jika harus melepaskan hasil tangkapannya,
walaupun paham bahwa tuna tersebut belum dewasa. Kepentingan ekonomi dan
keberlanjutan sumberdaya tuna masih sulit diterima hingga saat ini oleh
beliau.
Hingga pukul 04:30, 1 ekor tuna sirip
kuning lagi didapat, kesempatan ini Pa Ahmad mendapat tuna dengan ukuran
dewasa yaitu 30kg. Pada waktu yang tidak jauh berbeda nelayan lain
sedang menarik senar pancing dengan susah payah, sudah 1 jam nelayan
tersebut menarik senar tuna baru terlihat dipermukaan laut. Nelayan
tersebut mendapatkan tuna sirip kuning dengan ukuran ± 80 kg dengan
panjang 170 cm. Tanpa menunggu lagi, nelayan tadi langsung jalan menuju
pengepul (midleman) untuk segera ditimbang sebelum kualitas tuna semakin menurun.
Matahari
sudah terbit, kami pun bergegas kembali ke desa, begitupun nelayan lain
sudah terlihat meninggalkan lokasi penangkapan. Sesampainya di pantai
ibu-ibu pembakul (papalele) sudah mulai menawar harga hasil tangkapan Pa
Ahmad dan nelayan lainnya. 3 ekor tuna sirip kuning hasil tangkapan pa
Ahmad diborong dengan harga Rp.310.000, sirip kuning seberat 30 kg dijual dengan harga Rp.160.000,
sedangkan 2 ekor dengan ukuran masing-masing 15kg dihargai Rp. 150.000.
Sistem pembelian papalele tidak melihat kualitas dikarenakan mereka
akan menjualnya kembali dipasar lokal dalam bentuk potongan-potongan
yang lebih kecil.
Berbeda halnya dengan nelayan yang
sebelumnya menjual tuna ke pengepul, kualitas sangat menentukan harga, 1
ekor tuna yang didapatnya dapat dihargai Rp.1.200.000. Keberlanjutan
sumberdaya tuna diyakini akan terwujud jika banyak nelayan berpikiran
seperti nelayan tersebut yaitu mementingkan kualitas dibandingkan
kuantitas pada hasil tangkapannya.
Sumber: https://ataplaut.wordpress.com/2011/05/27/penangkapan-tuna-malam-hari/.