Membangun Perikanan yang Kompetitif, Berkeadilan, dan Berkelanjutan

Membangun Perikanan
yang Kompetitif, Berkeadilan, dan Berkelanjutan
(Oleh : Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS *)


Sebagai bagian integral dari sistem pembangunan nasional, sektor kelautan dan perikanan (KP) harus mampu memberikan kontribusi signifikan bagi terwujudnya cita-cita kemerdekaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), yakni menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan diridhai Allah SWT. Dalam tataran praktis, cita-cita mulia itu hanya dapat diwujudkan, bila kita sebagai bangsa mampu mengatasi sejumlah permasalahan tepat pada jantungnya dan secara simultan mendayagunakan seluruh potensi pembangunan bagi sebesar-besarnya kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Permasalahan utama di bidang ekonomi yang kini dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masih tingginya jumlah pengangguran dan orang miskin, kesenjangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin yang kian melebar, ketimpangan pembangunan antarwilayah yang semakin besar, kerusakan lingkungan hidup, deindustrilaisasi, dan rendahnya daya saing. Namun, kita tidak boleh pesimis menghadapi sederet permasalahan bangsa tersebut. Pasalnya, Indonesia dikaruniai oleh Allah segala potensi untuk menjadi bangsa besar yang maju dan makmur.

Optimisme saya ini berdasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa besar. Hanya sedikit negara di dunia yang memiliki kekayaan sumber daya alam seperti Indonesia. Lalu, dengan jumlah penduduk 235 juta jiwa (terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan AS), Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat besar.

Lebih dari itu, posisi geoekonomi Indonesia juga sangat strategis, dimana sekitar 45 % dari total volume perdagangan barang dan komoditas dunia, yang bernilai US$ 1.300 triliun pert ahun diangkut oleh kapal-kapal niaga melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (UNCTAD, 2008). Potensi pembangunan ekonomi yang besar dan sejumlah keunggulan komparatif tersebut menolong Indonesia dalam menghadapi terpaan badai krisis ekonomi global. Indonesia bersama China, India, dan Vietnam merupakan negara-negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif.

Sementara itu, negara-negara lainnya di dunia, semuanya mengalami pertumbuhan negatif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2009 mencapai 4,3 % (Depkeu; BI, 2009). Sedangkan, China, India, dan Vietnam berturut-turut tumbuh sebesar 8%, 6,5%, dan 4,5% (Bank Dunia; IMF, 2009).

Dan, salah satu kekayaan alam yang potensinya sangat besar, tetapi hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal adalah sumber daya perikanan, khususnya perikanan budidaya (aquaculture). Oleh sebab itu, jika kita dapat mengelola pembangunan sumber daya perikanan ini secara profesional dan benar, maka diyakini ia akan menjadi keunggulan kompetitif yang dapat menopang kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Reorientasi Pembangunan Perikanan

Sayangnya, sebelum berdirinya DKP (akhir 1999), pola pembangunan perikanan fokus utamanya pada perikanan tangkap di laut. Sedangkan, perikanan budidaya baru mendapat perhatian memadai sejak dicanangkannya Program Udang Nasional pada 1982 sebagai upaya untuk meningkatkan produksi udang nasional, yang sempat anjlok akibat pelarangan penggunaan pukat harimau (trawlers) pada 1980.

Selain itu, usaha perikanan tangkap maupun perikanan budidaya pada umumnya dilakukan secara tradisional alias kurang menerapkan teknologi mutakhir (state of the art technology); kesejahteraan nelayan tradisional kurang mendapat perhatian; ekstraktif atau kurang memperhatikan aspek kelestarian sumber daya ikan beserta ekosistemnya; terlalu menekankan peningkatan volume produksi ikan, tetapi kurang mengembangkan industri hilir (handling and processing) dan pemasaran; bersifat komando dari pusat (top-down); dan seragamisasi program.

Akibatnya, sumbangan subsektor perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil, hanya sekitar 1,5 %. Sebagian besar nelayan (65 %) hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, stok sumber daya ikan, khususnya jenis-jenis udang, ikan demersal, ikan karang, dan tuna di beberapa wilayah perairan laut, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Selat Bali, dan Pantai Selatan Sulawesi, telah mengalami overfishing (tangkap lebih).

Pada tahun 1999 total produksi perikanan tangkap dari laut mencapai 3,7 juta ton atau 58 % dari MSY (Maximum Sustainable Yield atau Potensi Produksi Lestari). Ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari, yang merupakan tempat pemijahan (spawning ground), tempat asuhan (nursery-ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi sekitar 85 % dari seluruh spesies ikan serta biota laut tropis lainnya (Berwick, 1985) mengalami kerusakan cukup parah akibat konversi menjadi kawasan permukiman, industri, pelabuhan, tambak, dan lainnya.

Kerusakan juga disebabkan oleh penebangan kayu mangrove secara berlebihan, penambangan batu karang, penangkapan ikan di kawasan terumbu karang dengan menggunakan bahan peledak (dynamite) atau racun, pencemaran, dan sedimentasi. Pencurian ikan (illegal fishing) oleh armada perikanan asing merajalela, sehingga sedikitnya 1 juta ton ikan setiap tahunnya raib dari perairan laut Indonesia (FAO, 2000).

Kondisi pembangunan perikanan warisan zaman Orde Baru seperti itu membuat DKP dalam posisi dilematis. Di satu sisi, publik (rakyat) mengharapkan keberadaan DKP dapat meningkatkan kontribusi sektor KP bagi pertumbuhan ekonomi nasional (PDB dan devisa) dan kesejahteraan rakyat, terutama nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir, secara signifikan. Ini berarti kita mesti meningkatkan pemanfaatan sumber daya perikanan.

Padahal, beberapa jenis stok ikan di beberapa wilayah perairan laut Indonesia telah mengalami overfishing, dan banyak ekosistem pesisir di kawasan-kawasan pesisir terutama yang padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya telah mengalami kerusakan cukup parah. Artinya, di wilayah-wilayah perairan atau kawasan pesisir tersebut kita dituntut untuk menurunkan intensitas penangkapan ikan atau kalau perlu moratorium (dilarang menangkap ikan) untuk jangka waktu tertentu. Dan, kita juga harus merehabilitasi ekosistem pesisir yang mengalami kerusakan.

Atas dasar kondisi di atas dan dinamika lingkungan strategis global, maka DKP sejak awal berdirinya telah meninggalkan paradigma (pola) pembangunan yang hanya mengejar volume produksi atau pertumbuhan ekonomi, dan beralih ke pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Dengan kata lain, suatu pola pembangunan yang menyeimbangkan antara kepentingan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil, dan pemeliharaan daya dukung, serta kelestarian ekosistem beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, maka Visi DKP atau sektor KP adalah "Ekosistem laut, pesisir, dan perairan tawar beserta seluruh sumberdaya hayati yang terkandung di dalamnya sebagai sumber kemajuan dan kesejahteraan bangsa secara berkelanjutan". Adapun misinya adalah: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholder KP lainnya, (2) meningkatkan kontribusi sektor KP bagi pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan, (3) meningkatkan kesehatan dan kecerdasan bangsa melalui peningkatkan konsumsi ikan per kapita, (4) memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan ekosistem laut, pesisir, dan perairan tawar, serta (5) meningkatkan jiwa bahari bangsa dan menjadikan laut sebagai pemersatu kesatuan serta kesatuan bangsa.

Peningkatan Daya Saing

Bila tidak diantisipasi dengan baik, perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement) ASEAN-China yang diberlakukan sejak 1 Januari 2010 bisa berdampak buruk terhadap sejumlah sektor ekonomi Indonesia, termasuk sektor KP. Pasalnya, China, Thailand, dan Vietnam dalam lima tahun terakhir mampu memproduksi sejumlah komoditas perikanan yang lebih murah dan berkualitas ketimbang Indonesia.

Oleh karenanya, seyogyanya selain melanjutkan program-program yang telah dilakukan sebelumnya, kita mulai sekarang juga harus lebih meningkatkan daya saing produk dan komoditas hasil perikanan agar bisa lebih kompetitif ketimbang yang berasal dari negara-negara ASEAN dan China. Selain itu, kalau memang kenyataannya saat ini kita belum mampu bersaing dengan China, Thailand, dan Vietnam, maka ada baiknya kita meminta penundaan pelaksanaan FTA ASEAN-China khusus di bidang perikanan.

Produk dan komoditas hasil perikanan yang berdaya saing adalah yang kualitasnya unggul (top quality), harganya relatif murah, dan pasokan (supply)-nya setiap saat dapat memenuhi kebutuhan konsumen (pasar), baik pasar domestik maupun pasar ekspor. Untuk dapat menghasilkan produk dan komoditas perikanan yang kompetitif semacam itu, maka kita harus menerapkan Iptek mutakhir di setiap mata rantai sistem bisnis perikanan. Mulai dari aspek (mata rantai) produksi (penangkapan ikan di laut dan perairan umum, budidaya organisme perairan di laut, tambak, perairan tawar maupun akuarium), industri hilir (handling and processing), sampai ke pemasaran.

Kemudian, bisnis perikanan baik secara individu, koperasi, perusahaan BUMN, maupun perusahaan swasta mesti dikelola secara terpadu, dari hulu (produksi), industri hilir, hingga ke hilir (pemasaran). Dengan demikian, fenomena 'market glut' (harga ikan tinggi pada saat musim paceklik, lalu mendadak turun drastis ketika musim panen) yang selama ini sering menimpa para produsen (nelayan dan pembudidaya ikan) tidak bakal terulang lagi. Lalu, setiap unit bisnis perikanan, baik yang hanya mencakup aspek produksi (penangkapan ikan dan budidaya), industri pengolahan, jual-beli (trading), ataupun yang meliputi seluruh mata rantai bisnis perikanan (terpadu) harus memenuhi economy of scale (skala ekono-mi)-nya.

Akhirnya, pemerintah dan masyarakat harus mulai sekarang juga menciptakan iklim investasi yang kondusif. Iklim investasi yang kondusif itu meliputi:

(1)   proses perizinan investasi dan usaha yang cepat, mudah, dan murah,
(2)  pemangkasan ekonomi biaya tinggi termasuk pungutan liar di laut dan pelabuhan perikanan,       retribusi, dan lainnya,
(3) ketersediaan infrastruktur (seperti pelabuhan, irigasi tambak, jalan, telekomunikasi, dan air bersih),
(4)   pasok listrik dan gas,
(5)   tenaga kerja yang berkualitas,
(6)   keamanan berusaha,
(7)   kepastian hukum, serta
(8)   konsistensi kebijakan pemerintah.

Jika kita melaksanakan segenap kebijakan dan program di atas secara cerdas, serius, ikhlas, dan konsisten, maka diyakini sektor KP dapat menjadi keunggulan kompetitif yang bisa menyejahterakan nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholder perikanan lainnya; serta mempercepat terwujudnya Indonesia yang maju, adil-makmur, Insya Allah pada 2025.

*) Penulis adalah Pendiri Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB.

Sumber : Majalah Samudra Edisi 81-Thn VIII-Januari-2010